DINAMIKA PARADIGMA POLITIK INDONESIA (Studi Kritis atas Perubahan Orientasi Politik Terhadap Agama)
I. PENDAHULUAN
Dalam Islam, hubungan agama dengan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para Pakar Islam hingga kini. Bahkan, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara agama dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan Negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama’ tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad ketika berada di madinah yang membangun system pemerintahan dalam sebuah Negara kota. Di madinah, rosulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
Menyikapi realitas empiric tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rosul yang bertugas menyampaikan ajaran (Alkitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Dengan kata lain, politik atau Negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.
Eksistensi Islam politik pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktifis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama negara. Tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoris” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideologi Negara Pancasila. Gejala menurunya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas.
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Politik dalam Perspektif Sejarah
1. Politik Islam
Di Indonesia agama mayoritas adalah Islam. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan apabila pada awal kemerdekaan banyak bermunculan partai-partai yang membawa Islam. Diantara partai-partai tersebut, misalnya Syarikat Islam yang kemudian berganti PSII, Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama’, Perti dan yang lainya. Umat Islam cenderung menetapkan pilihan perjuanganya melalui saluran konstitusional dengan harapan bisa menang saat konstituante. Tetapi hubungan harmonis yang terjadi sebelumnya, pada tahun 1940-an, tidak dapat bertahan lama. Pada 1949, Masyumi semakin dikuasai oleh komunitas pembaharu yang diwakili oleh Mohammad Natsir yang berasal dari Sumatra. Kemudian lagi, Nahdlatul Ulama’ memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Akibatnya padda pemilu umum 1955, suara partai yang berasaskan Islam terpecah-pecah. Secara umum sebagai sebuah tawaran ideologi yang memantapkan diri pada masalah politik di eranya, ternyata Islam tetap banyak diwarnai oleh golongan reformis. Mohammad Natsir, adalah salah satu tokoh pembaharu yang pemikiran-pemikiranya kerap mendominasi alur politik Islam pada saat itu. Namun sejatinya, dominasi Masyumi tidak berlangsung lama terlebih pasca NU menyatakan keluar.
Setelah keduanya memisahkan diri itulah, Masyumi dan NU memainkan lakon politik yang berbeda. NU lebih banyak bekerjasama dengan unsur-unsur nasionalis radikal. Sementara Masyumi cenderung berusaha menepis langkah-langkah yang diambil Soekarno. Demikian juga seperti Partai NU, Organisasi Islam dan Partai Islam lainya juga keluar dari Masyumi. Puncaknya, Soekarno menganggap Masyumi terlibat usaha pemberontakan di daerah pada tahun 1958 dan dua tahun setelah itu Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang alias dibubarkan. Dinamika pemikiran politik kepartaian yang bertemakan Islam, pada tahun 1953 juga terjadi di Aceh. Tepat pada 21 September 1958, Daud Beureuh yang mengaku perwakilan umat Islam Aceh memproklamasikan Aceh sebagai wailayah Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo.
2. Politik Masa Orde Baru
Setelah peristiwa pemberontakan PKI 1965 berimbas sekurang-kurangnya pada dua simbol kekuatan politik orde sebelumnya, yaitu ditumpasnya PKI dan tamatnya kekuasaan Soekarno. Tergulingnya dua kekuatan tersebut berdampak pada perubahan struktur politik yang ada, seperti berakhirnya masa demokrasi terpimpin. Bertolak dari peristiwa itulah era kejayaan Orde Baru dimulai. Soeharto sendiri sebagai lambang Orde Baru diangkat sebagai presiden ke dua Indonesia dalam sidang umum MPRS V pada tanggal 27 Maret 1968. salah satu strategi politik yang dipakai Orde Baru adalah mewujudkan stabilitas politik. Orde Baru mengukuhkan manuvernya dengan cara menyederhanakan pluralisme ideologi partai-partai menjadi dua partai paketan. Pertama, Partai Persatuan Pembangunan dengan lambing Ka’bah untuk menampung Nahdlatul Ulama’, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam indonesia (PSII). Kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk menghimpun lima partai politik sekaligus seperti Partai Nasionalis Indonesia, Ikatan Pendukung kemerdekaan Indonesia, murba, partai katholik dan partai Kristen Indonesia. PPP sendiri secara sah berdiri semenjak 5 Januari 1973.
3. Politik Masa Reformasi
Tatkala terompet reformasi bergema tahun 1998, gonjang-ganjing politik bergejolak di seluruh negeri. Jagat politik Islam juga geger dengan suara politik yang terus memperebutkan massa santri yang melimpah. Yang paling nyata adalah PKB pada 23 Juli 1998. dengan suara bergemuruh, para kiai dan santri berkumpul di pesantren Ciganjur, Jaksel, mendeklarasikan PKB dengan sangat khidmat. Era reformasi juga menandai jalan fragmentasi politik Islam. Di sana ada partai yang bermunculan diantaranya PAN, PKS, PBB, PPP dan sekarang ada PKNU dan PMB. PKB, PPP, dan PKNU berselancar dalam merebutkan suara kaum santri tradisional. PKS, PAN, dan PMB, bersikeras dalam mendulang suara kaum santri modernis. Terlepas dari fragmen tersebut, diakui atau tidak, suara santri tradisional jauh lebih melimpah daripada santri modernis yang hanya berdiri di pojok-pojok kota. Santri tradisional hidup secara paguyuban yang dipimpin oleh kiai dan masih menerapkan kiai sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam sebuah pemilu.
4. Faktor-faktor Penyebab Kegagalan Politik
Faktor-faktor penyebab kegagalan politik dalam Islam :
a. Adanya tujuan ideologi yang menjadikan perpecahan agama Islam dalam partai Masyumi yang dianggap oleh Soekarno sebagai pemberontakan di daerah pada tahun 1958
b. Politik Islam semakin jauh dari nilai ideologis yang diperjuangkan. Kalkulasi kekuasaan telah mengaburkan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan lewat jalan politik.
c. Dari Islam sendiri selalu ada pertikaian yang menjadikan keretakan bagi jamaahnya yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainya.
d. Saling memperlihatkan egoisme masing-masing partai politik Islam yang menjadikan pergolakan di antara mereka.
e. Adanya konflik internal dalam partai politik Islam pada masa reformasi.
f. Munculnya pengelompokan dalam partai-partai yang berbasis Islam sehingga perpecahanpun tidak dapat terhindari.
g. Budaya KKN, ketidakadilan, dan ketidakjujuran masih hidup di Negara Indonesia. tidak hanya dari kalangan non muslim saja, namun dari kalangan yang mengaku dirinya Islam juga tidak luput dengan budaya ini.
h. Elit agama yang ikut terjun di dunia politik secara otomatis melalaikan tugasnya dalam mengemban amanat umatnya.
III. PENUTUP
Kondisi bangsa Indonesia harusnya menjadi lebih baik setelah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaanya semenjak 17 Agustus 1945 lalu. Tapi selama puluhan tahun Indonesia merdeka, ternyata tidak banyak yang bisa dilakukan, selama berpuluh-puluh tahun itu pula, justru lebih banyak didera pesoalan dalam negeri yang tidak kunjung ditemukan solusi terbaiknya. Perubahan yang tejadi sampai sekarang justru membawa kita kepada pesoalan kebangsaan yang semakin rumit dan pelik. Pada masa pergerakan nasionala dimana tantangan yang ada adalah merebut kemerdekaan, solusisnya sangat jelas, mengangkat senjata. Kalau sekarang?
Berbincang soal politik, tentunya ada naik turun perkembangan yang melingkupinya. Bahkan karena tekanan yang begitu pelik, bisa jadi orientasi politik terhadap agama pun bisa berubah. Senada dengan perkembangan politik di masa itu. Titik tekan masa Orde lama adalah, paradigma yang dipakai dalam memandang agama adanya penyatuan antara politik dan agama, imbasnya adalah munculnya partai-partrai islam. Sedangkan dimasa Orde Baru, adanya pertentangan antara politik dan agama, sehingga ada istilah nasional dan religius, imbas yang paling nyata adalah partai-partai difusikan menjadi 3 partai saja. Berbeda degna masa reformasi, dimana titik tekanya adalah dibukanya ruang yang luas terhadap kebebasan berkehendak, dan berpolitik, imbas yang paling nyata adalah munculnya partai-pratai yang multi haluan.
Demikian sedikit uraian yang bias penulis samapiakan, tentunya masih banyak hal yang perlu dibahas dan menjadi bahan renungan kedepan. Kritik dan saran sangat penyusun harapkan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
DAFTAR BACAAN
Rosyada, Dede, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transissi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
UU RI Nomor 31 Tahun 2002, Tentang Partai Politik, Bandung: Citra Umbara, 2003
By : Loetfiy
Currently have 0 komentar: