Politik Bani Muawiyah

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Jumat, 23 April 2010 , under | komentar (0)





I. Pendahuluan
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh tuntunan Rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih di masa adanya para Sahabat. Inilah fakta sejarah yang terjadi. Namun apakah benar, tuntunan Islam dalam perpolitikan (sistem negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (khalifah). Tulisan ini secara khusus akan mengulas sejauhmana penyimpangan terhadap syariat Islam tersebut, bila ada. Dan umumnya akan melihat lebih jauh kiprah perpolitikan masa 14 Khalifah pasca Khulafaur Rasyiddin atau yang dikenal dengan masa Kekhalifahan Umayyah.
Walaupun agak enggan menyebut dengan nama keluarga Umayyah, dalam masa ini, namun fakta yang terjadi adalah pada masa ini Khalifah-khalifah yang dibai’at kebanyakan berasal dari keluarga tersebut. Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984), kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali, Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 41H/661M. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M, dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.


II. Pembahasan
A. Masa Awal Dinasti Umayah
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.
Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keIslaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keIslaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keIslaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan tujuannya tercapai
Setelah Amirul Mukminin Ali as, berdasarkan wasiatnya dan bai’at masyarakat, Imam Hasan bin Ali as yang dalam pandangan Syi‘ah adalah imam kedua menjadi khalifah. Akan tetapi, Mu‘awiyah tidak tinggal diam. Ia mengerahkan bala tentaranya ke Irak yang pada waktu itu adalah ibu kota pemerintahan dan memerangi Hasan bin Ali as.
Dengan berbagai propaganda dan iming-iming urang yang melimpah, sedikit demi sedikit ia berhasil merusak jiwa (perang) para sahabat dan komandan tentara Hasan bin Ali as. Akhirnya, ia memaksa Hasan bin Ali—dengan dalih perdamaian—untuk menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada dirinya. Dan Hasan bin Ali pun—dengan syarat kekhalifahan harus kembali ke tangannya setelah Mu‘awiyah meninggal dunia dan para pengikut Syi‘ah tidak dianiaya—menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya.
Pada tahun 40 H., Mua’wiyah berhasil menguasai tampuk kekhalifahan Islam. Langsung ia berangkat ke Irak. Dalam sebuah ceramahnya di hadapan khalayak, ia menegaskan, “Aku tidak memerangi kamu sekalian karena ingin (menegakkan) puasa dan shalat. Tetapi, aku hanya ingin berkuasa atas kamu sekalian. Dan sekarang aku telah sampai kepada tujuan itu.”
Ia juga menegaskan, “Perjanjian dengan Hasan yang telah kutandatangani telah kubatalkan dan berada di bawah kakiku.” Dengan ucapannya ini, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia ingin memisahkan politik dari agama dan tidak akan menjamin (pelaksanaan) undang-undang dan hukum Islam, serta selalu berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya demi menjaga kekekalan pemerintahannya. Jelas bahwa pemerintahan semacam ini adalah sistem kerajaan, bukan kekhalifahan Rasulullah saw. Atas dasar ini, sebagian orang yang pernah bertamu kepadanya, mereka mengucapkan salam kepadanya atas nama seorang raja. Ia sendiri pun dalam sebagian pertemuan khususnya menegaskan bahwa pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan kerajaan, meskipun di hadapan khalayak ramai ia menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw.
Akhirnya, Mu‘awiyah yang memang kekuasaannya dibangun di atas pondasi paksaan dan ingin membangun sebuah kerajaan dengan sistem warisan mangaktuaslisaikan niatnya tersebut. Ia mengangkat anaknya, Yazid yang arogan dan tidak memiliki jiwa keagamaan sedikit pun sebagai putra mahkota dan memilihnya sebagai penggantinya Dan Yazid telah menyulut api peristiwa-peristiwa yang sangat memalukan itu.
Dengan ucapannya itu, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan mengizinkan Hasan as memegang kembali kekhalifahan. Yaitu, berkenaan dengan kekhalifahan setelah dirinya, ia mempunyai pogram lain. Program tersebut adalah membunuh Hasan as dengan menggunakan racun, dan dengan itu, ia ingin melapangkan jalan bagi anaknya sendiri. Dengan menginjak-injak pernjanjian damai itu, Mu‘awiyah ingin memahamkan kepada masyarakat luas bahwa ia tidak akan memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi‘ah untuk hidup aman dan tenang, dan untuk—seperti masa-masa sebelumnya—meneruskan kegiatan-kegiatan mereka. Ia pun telah merealisasikan niat buruknya itu
Ia telah mengumumkan (dengan tegas) bahwa barangsiapa menukil sebuah hadis tentang manâqib Ahlulbait as, maka jiwa, harta, dan harga dirinya tidak akan mendapatkan jaminan keselamatan dan ia juga memerintahkan, barangsiapa mendapatkan sebuah hadis tentang pujian dan manâqib para sahabat dan khalifah, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang memuaskan. Akhirnya, banyak hadis yang dibuat dan dipalsukan berkenaan dengan keutamaan para sahabat. Ia juga memerintahkan supaya Ali as dicaci-maki di atas mimbar-mimbar pidato di seluruh penjuru pemerintahan Islam. (Perintah ini masih terus berlaku hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah, pada tahun 99-101 H.). Ia dengan bantuan para antek dan sutradara politiknya yang sebagian mereka adalah sahabat telah membunuh para pengikut Ali as dan menamcapkan kepala sebagian dari mereka di atas tombak, lalu mengelilingkannya di kota-kota. Ia memaksa para pengikut Syi‘ah di mana pun mereka berada untuk mencaci-maki Ali, dan jika mereka enggan melakukannya, maka mereka akan dibunuh .
B. Sistem Politik Dan Perluasan Wilayah
Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.
Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan Islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah pemerintah Islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.
Di zaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan Islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah Islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk Islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.
Di zaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.
Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.
Pada ini juga, politik telah mengaami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah (kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah (Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha Negara.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan .
C. Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
• Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
• Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
D. Sistem Peradilan Dan Pengembangan Peradaban
Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
• Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
• Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
• Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
• Perlengkapan perang
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Disamping itu, kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
o Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
o Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
o Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
o Pembuatan mata uang di zaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri Islam.
o Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
o Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
E. Kemajuan Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut. Kekuatan militer pada masa Bani Umayyah jauh lebh berkembang dari masa sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary). Sedangkan pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab, dimana tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsure Arab.
Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus dengan panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk “Armada Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga memungkinkannya untuk bertempur dalam segala musim.

F. Sistem Pergantian Kepala Negara Dan Keruntuhan Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah .




III. Kesimpulan
Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah .
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan
Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran dan kehancuran adalah sebagai berikut:
• Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
• Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
• Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
• Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
• Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian khalifah
• Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
• Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
• Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang
• Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib dan didukung oleh Bani Hasyim, kaum Syi`ah dan kaum Mawali.

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Maududi Abuk A'la, Khilafah dan Kerajaan, Kharisma, Bandung, cet. I, 2007
 http://tristiono.wordpress.com 2009/03/16/ Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani Abbasiyah
 Rais Muhammad Dhiauddin, Teori Politik Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2001
 Armstrong Karen, Islam Sejarah Singkat, Jendela : Yogyakarta, cet. I, 2002
 Syalabi A, sejarah kebudayaan dan Islam, Jakarta : P.T. Pustaka Al-Husna Baru, 2003
 As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001
 Muchtar Ghazali, Adeng, Drs. M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.I, CV.Pustaka Setia; Bandung: 2004
 Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001
 Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Serambi : Jakarta



By : Lutfiy

Thalaq

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on , under | komentar (0)



I. Pendahuluan

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah satu suami istri. Inilah yang dikehendaki dalam Islam. Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan kasih sayang antara suami istri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan besan akibat perkawianan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan.
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Misalnya, salah satu suami atau istrinya ternyata mandul sehingga tujuan melanjutkan keturunan terhalang, padahal salah satu pihak benar-benar menginginkan keturunan. Dalam hal ini, Islam sama sekali tidak mengekang keinginan kodrati pihak-pihak yang bersangkutan. Dimungkinkan berpoligami bagi suami atau dibenarkan menghentikan perkawinan dengan jalan khuluk (talak tebus) lewat pengadilan. Ataupun masalah rumah tangga lainya yang berbagai macam.
Dari contoh keadaan yang dapat menjadi alasan terhentinya perkawinan antara suami istri, dapat diperoleh ketenyuan bahwa Islam membenarkan terjadinya putus perkawinan untuk memenuhi tuntutan kebaikan hidup rumah tangga, bukan sebaliknya, mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Walaupun sebenarnya semula thalaq itu dilarang, karena terdapat pengertian kufur kepada nikmatnya dalam pernikahan, merobohkan tujuanya. Namun dengan adanya keadaan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan ikatan pernikahan maka ketentuan syara' yang bijaksana memperbolehkan putusnya perkawinan. Oleh karena itu, khusus mengenai putusnya perkawinan dengan jalan thalaq ini Islam memberikan pedoman-pedoman yang harus diperhatikan sehingga memberikan pengertian bahwa jalan thalaq ini adalah jalan yang ditempuh dalam hubungan suami istri yang memang ada masalah dalam berhubungan. Oleh karena itu, bahasan dalam makalah kami ini adalah bab tentang thalaq. Semoga apa yang bias kami usahakan ini mampu memberikan pengertian dan pemahaman kepada para pembaca sekalian.



II. Pembahasan
A. Definisi
Secarta harfiyah thalaq itu berarti lepas dan bebas. Thalaq adalah terputusnya ikatan pernikahan dengan menggunakan kata yang shorih (jelas) atau kinayah (sindiran). Dihubungkanya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubunganya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatanya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinaya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarakh Minhaj al-Thalibin merumuskan "Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafad thalaq dan sejenisnya.
Dari rumusan yang dikemukakan oleh Al-Mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kata kunci yang menunujukkan hakikat dari perceraian yang bernama thalaq.
Pertama : Kata "melepaskan" atau membukamengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama itu terikat, yaitu ikatan perkawinan
Kedua : "ikatan perkawinan", yang mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selam ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga : Kata "dengan lafad thalaq dan sejenisnya" mengandung artu bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata thalaq tidak disebut dengan "putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
B. Hukum Thalaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rosul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rosul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan bila dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.hkum makruh itu dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya thalaq itu dengan berbagai penahapan.
Memang tidak terdapat dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu. Sedangkan perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukanya. Walau banyak ayat Al-Qur’an yang mengatur thalaq, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq mesti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau karangan. Kalau mau men-thalaq seharusnya sewaktu istri itu berada dalam keadaan yang siap memasuki masa iddah, seperti dalam firman Allah dalam surat at-thalaq ayat 1 :
 •     
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.
Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 232 :
         
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.
Meskipun tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan thalaq yang mengandung arti hukumnya mubah, namun thalaq termasuk perbuatan yang tidak disenangi nabi. Hal itu mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Seperti dalam hadistnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim :
أبغض الحلال على الله الطلاق
Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq
Walaupun hukum asal dari thalaq adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukumnya adalah :
1. Nadab (sunah), seperti Thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang berperangai buruk dan kurang dapat menjaga dirinya atau suami sudah tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibanya (nafkahnya) .
2. Mubah, seperti boleh men-thalaq istrinya yang sama sekali tidak dicintainya. Dan sang suami merasa keberatan bila harus memberi nafkah, sementara ia tidak mampu istimta' (bermesraan) denganya .
3. Wajib (mesti dilakukan), yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar dia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakanya itu memudharatkan istrinya.
4. Haram thalaq itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli .
C. Hikmah Adanya Thalaq
Hikmah diperbolehkanya thalaq itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk thalaq tersebut. Dengan demikian, thalaq dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan kemaslahatan.
D. Syarat-Syarat Thalaq
Pihak yang menjatuhkan thalaq :
1. Telah baligh
2. Berakal sehat
3. Tidak dalam keadaan terpaksa
4. Perempuan yang di-thalaq berada di bawah wilayah atau kekuasaan laki-laki yang men-thalaq, yaitu istri yang mash terikat dalam tali pernikahan denganya.
Orang yang tidak sah menjatuhkan thalaq itu ada empat macam :
1. Anak kecil
2. Orang gila
3. Orang yang tidur
4. Orang yang dipaksa
E. Macam-Macam Thalaq
Thalaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa keadaan.
Dengan melihat kepada keadaan istri waktu thalaq itu diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam :
1. Thialaq Sunni.
Yang dimaksud dengan thalaq sunni ialah thailaq yang pelaksanaanya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi. Bentuk thalaq sunni yang disepakati oleh ulama adalah thalaq yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Diantara ketentuan menjatuhkan thalaq itu dalam masa si istri yang dithalaq langsung memasuki masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
 •     
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
Yang dimaksud dengan masa iddah disini adalah dalam masa suci yang belum digauli oleh suami. Cara-cara thalaq yang termasuk dalam thalaq sunni di luar yang disepakati ulama diantaranya adalah thalaq dalam masa iddah, namun diikuti lagi dengan thalaq berikutnya. Thalaq dalam bentuk ini tidak disepakati ulama. Imam Malik berpendapat bahwa thalaq semacam itu tidak termasuk thalaq sunni. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan yang demikian adalah thalaq sunni. Hal ini juga berlaku dikalangan Ulama Zhahiriyah.
Berkenaan dengna thalaq tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam Malik adalah bukan thalaq sunni sedangkan Imam Syafi'i dan juga menurut Daud Al-Zhahiriy memandang yang demikian adalah thalaq sunni. Alasanya adalah bahwa selama thalaq yang diucapkan itu berada sewaktu suci yang belum dicampuri adalah thalaq sunni.
Menurut Ulama Hanafiyah thalaq tiga yang termasuk thalaq sunni adalah thalaq tiga yang setiap thalaq dilakukan dalam masa suci, dalam arti thalaq tiga tidak dengan satu ucapan.
Tentang thalaq dalam masa hamil menurut Jumhurul Ulama adalah thalaq sunni. dengan alasan bahwa thalaq diwaktu hamil itu tidak menyebabkan istri yang di-thalaq mengalami perpanjangan masa iddah, karena bagaimana juga iddahnya akan berakhir dengan melahirkan anak. Ini kalau hanya melihat dari satu sisi, yaitu tidak memanjangnya masa iddah. Tetapi kalau dilihat dari satu sisi lain thalaq dalam masa hamil itu mendatangkan kemudharatan yang lebih banyak kepada istri yang dithalaq. Oleh karena itu, sebagian ulama menempatkanya sebagai thalaq bid'iy.
2. Thalaq Bid'iy
Yaitu thalaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. Bentuk thalaq yang disepakati ulama termasuk dalam kategori thalaq bid'iy itu ialah thalaq yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini disebut thalaq bid'iy karena menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan thalaq pada waktu istri dapat langsung memulai iddahnya. Hukum thalaq bid'iy adalah haram dengan alasan memberi mudharat kepada istri, karena memperpanjang masa iddahnya.
Walaupun ulama' sepakat tentang haramnya men-thalaq istri sedang haid, namun mereka berbeda pendapat apakah thalaq yang dilakukan oleh suami waktu haid itu terjadi atau tidak. Jumhur ulama berpandapat bahwa talaq itu jatuh. Alasanya dalam hadist ibnu umar dikatakan bahwa nabi menyuruh ibnu umar yang menceraikan istrinya dalam masa haid untuk merujuknya. Rujuk itu mengandung arti bahwa sebelumnya telah terjadi thalaq.
Selanjutnya ulama' ini berbeda pendapat tentang apakah suami yang menthalaq istrinya dalam masa haid itu dipaksa untuk kembali atau tidak. Menurut Imam Malik dan pengikutnya suami itu wajib kembali pada istrinya dan dipaksa kalau tidak mau. Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-Tsauriy, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum rujuk disini hanyalah sunnah, dan oleh karena itu suami tidak dipaksa untuk kembali kepada istrinya, suruhan yang dilakukan oelh nabi itu bukanlah untuk perintah namun hanya anjuran.
Sebagian ulama termasuk ulama Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa thalaq dalam masa haid itu tidak jatuh. Alasanya adalah karena thalaq seperti itu tidak diterima oleh nabi. Dengan demikian, tidak sesuai dengan aturan nabi dan yang tidak sesuai dengan aturan nabi itu adalah bid'ah. Hal ini sesuai dengan hadist nabi :
كل فعل أو عمل ليس عليه أمرنا فهو رد
Segala urusan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan kami adalam ditolak.
Ditolaknya cara thalaq tersebut menunjukkan bahwa thalaq tersebut tidak terjadi.
Ulama Hanafiyah membagi thalaq itu dari segi keadaan istri yang dithalaq kepada tiga macam :
1. Thalaq ahsan, yaitu thalaq yang disepakati ulama sebagai thalaq sunni, yaitu thalaq ynag dijatuhkan pada waktu istri sedang dalam keadaan suci dan tidak dicampuri dalam masa suci itu.
2. Thalaq hasan, yaitu bentuk-bentuk thalaq yang diperselisihkan ulama sebagai thalaq sunni seperti thalaq dalam waktu istri sedang hamil.
3. Thalaq bid'iy, yaitu thalaq dalam masa haid atau dalam masa suci yang telah digauli dalam masa itu.
Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan istrinya, thalaq itu ada dua :
1. Thalaq raj'iy, yaitu thalaq yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq raj'iy ini adalah thalaq satu atau dua tnapa didahului tebusan dari pihak istri.
2. Thalaq ba'in, yaitu thalaq yang putus secara penuh dalam artian tidak mungkin suami kembali kepada istrinya kecuali dengan akad nikah yang baru.
Thalaq ba'in ini terbagi pula dalam dua macam :
1. Ba'in sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk thalaq ba'in sughra ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Thalaq yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan untuk rujuk, sebab rujuk hanya dilakukan dalam masa iddah.
Kedua : Thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri yang disebut khulu'
Ketiga : Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.
2. Ba'in kubra, yaitu thalaq yang tidak memungkinkan suami rujuk kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain kemudian sudah dicampuri dan berserai pula dengan laki-laki it serta habis masa iddahnya. Yang termasuk dalam bentuk ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Istri yang telah dithalaq tiga kali. Thalaq tiga dalam pengertian thalaq ba'in itu yang disepakati ulama' yaitu thalaq tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara thalaq satu dengan lainya diselingi oleh masa iddah.
Tentang thalaq tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan, menjadi perbincangan dikalangan ulama'.
Pendapat pertama : Thalaq tiga dalam satu ucapan itu tidak jatuh. Alasanya adalah karena dimasukkanya thalaq seperti ini kedalam thalaq bid'iy, yang menurut sebagian ulama' diantaranya ulama imamiyah diceritakan dari tabiin dan dari Ibnu 'Aliyah serta Hisyam bin Hakam dan sebagian Ahlu Dhahir tidak jatuh sebagaimana keadaanya thalaq dalam masa haid.
Pendapat kedua : menurut imam empat, kebanyakan sahabat dan tabi'in mengatakan bahwa thalaq tiga sekaligus itu jatuh thalaq tiga, dengan sendirinya termasuk thalaq bain. Alasan yang digunakan golongan ini tidak memisahkan antara thalaq tiga dalam satu ucapan atau dilakukan secara terpisah.
Pendapat ketiga : Ulama' Dhahiriyah, Syi'ah Imamiyah, dan Al-Hadawiyah, berpendapat bahwa thalaq tiga dalam satu ucapan jatuh thalaq satu dalam kategori thalaq sunni.
Pendapat keempat : Merupakan pendapat Sahabat Ibnu Abbas yang kemudian diikuti oleh Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini mengatakan bahwa seandainya thalaq tiga dalam satu ucapan itu dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami istri, maka yang jatuh adalah thalaq tiga, dan oleh karenanya termasuk thalaq bain kubra, namun bila thalaq diucapkan sebelum diantara keduanya terjadi hubungan kelamin yang jatuh hanyalah thalaq satu.
Kedua : Istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li'an. Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang dili'an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhurul ulama. Hal ini secara lengkap akan dijelaskan pada tempatnya.

F. Sighat atau Ucapan Thalaq
Ucapan thalaq secara mutlak :
1. Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan seperti "saya ceraikan engkau". Kalimat yang sarih ini tidak perlu dengan niat.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh diartikan untuk perceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami, "pulanglah engkau ke rumah keluargamu". Kalimat sindiran ini bergantung pada niat, artinya kalau tidak diniatkan untuk perceraian nikah, tidaklah jatuh thalaq. Kalu diniatkan untuk menjatuhkan talak barulah menjadi thalaq.
Ucapan thalaq yang digantungkan kepada sesuatu :
1. Ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak dari sesuatu yang mempunyai kebebasan untuk berbuat, baik ia adalah Allah swt ataupun manusia. Bila ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak Allah, seperti "engkau saya thalaq insya Allah". Thalaq dengan menggunakan ucapan seperti ini menurut imam malik terjadi atau jatuh thalaqnya dan pengecualian yang disebutkan dalam ucapan tidak punya pengaruh apa-apa. Menurut abu hanifah dan imam syafi'I dan yang berlaku dikalangan ulama zhahiriyah thalaq yang disyaratkan dengan kehendak Allah tidak jatuh.
Bila ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak seseorang yang kehendaknya itu dah dilakukan, seperti "engkau saya thalaq bila dikehendaki oleh bapak direktur", tak ada beda pendapat dalam Madzhab Maliki bahwa thalaq jatuh bila bapak direktur menghendakinya. Hal ini berarti jatuhnya thalaq berlaku saat syarat yang disebutkan terlaksana.
2. Thalaq yang digantungkan kepada terjadinya sesuatu dimasa yang akan datang. Ucapan dalam bentuk ini ada tiga kemungkinan. Kemungkunan pertama, thalaq digantungkan kepada suatu kejadian yang yang pasti terjadi, seperti, "engkau saya thalaq bila terbit matahari esok pagi". Dalam hal kapan jatuhnya thalaq menurut imam malik thalaqnya jatuh secara langsung. Sedangkan menurut imam syafi'I dan abu hanifah, thalaq jatuh setelah syarat yang diucapkan terjadi, yaitu sewaktu terbitnya matahari esok harinya.
Kemungkinan kedua, ucapan thalaq digantungkan kepada sesuatu kejaadian yang antara terjadi dan tidaknya adalah sama, seperti "engkau saya thalaq bila ayahmu pulang". Dalam hal ini sepakat ulama mengatakan bahwa thalaq terjadi saat yang dipersyaratkan telah terjadi.
Kemungkinan ketiga, ucapan thalaq digantungkan kepada sesuatu kejadian yang menurut biasanya terjadi dan terkadang tidak terjadi, seperti "engkau saya thalaq bila engkau tidak lulus ujian". Thalaq seperti ini menurut sebagian ulama maliki jatuh setelah terjadinya apa yang disyaratkan dan sebagian berpendapat terjatuh thalaq secara langsung setelah ucapan thalaq diucapkan.
Thalaq dilihat dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan thalaq itu dibagi menjadi dua macam :
1. Thalaq mubasyir, yaitu thalaq yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan thalaq, tanpa melalui perantara atau wakil.
2. Thalaq tawkil, yaitu thalaq yang pengucapanya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Seperti ucapan suami " saya serahkan kepadamu untuk menthalaq dirimu", secara khusus disebut thalaq tafwidh. Secara lafad tafwidh mengandung arti melimpahkan. Berkenaan dengan wewenang istri dalam bentuk thalaq tafwidh itu, ulama' tidak sepakat. Sebagian ulama syafi'iyah menempatkanya sebagai tamlik atau menyerahkanya, sedangkan yang lain menempatkanya sebagai takwil.
G. Thalaq dengan istisna' (pengecualian)
istisna' artinya mengurangkan maksud perkataan yang telah terdahulu dengan perkataan yang kemudian. Istisna' dalam kalimat thalaq hukumnya sah, dengan syarat perkataan pertama berhubungan dengan perkataan yang kedua, dan kalimat yang kedua tidak menghabisi maksud kalimat yang pertama. Umpamanya "engkau terthalaq tiga kali kecuali dua" maka jatuhlah thalaq satu. Tetapi kalau dikatakanya "engkau terthalaq tiga, kecuali tiga" maka jatuhlah thalaq tiga.
H. Khulu' (thalaq tebus)
Khulu' artinya thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami. Thalaq tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun sewaktu haid. Karena biasanya khulu' ini terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang.
Perceraian yang dilakukan secara thalaq tebus ini berakibat bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru. Sebagian ulama memperbolehkan thalaq tebus, baik terjadinya karena keinginan istri maupun suami. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh talak tebus kecuali apabila keinginan bercerai itu dating dari pihak istri karena benci kepada suaminya, dan bukan disebabkan kesalahan suami, sebab kalau thalaq tebus itu atas kehendak suami atau karena tekanan dari suami, hal itu berarti merupakan paksaan kepada istri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan suami; dan kalau suami yang bercerai atau suami benci kepada istrinya, ia dapat bertindak dengan perceraian yang biasa. Sebab hak thalaq itu ada didalam kekuasaanya.
Pengarang kitab ayatul ahkam "Semua fuqaha berpendapat bahwa suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan thalaq tebus.
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu' ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shulh, dan mubaraah. Walaupun dalam maknanya yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu'. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebut shulh. Bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.
• Iwadh / tebusan atau pengganti dalam khulu’
a. Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa iwadh khulu’ boleh berupa maskawin atau sebagian dari maskawin atau dengan barang lainnya, baik jumlahnya lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah maskawin, baik dengan tunai atau dengan cara diangsur.
b. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa suami tidak dibenarkan meminta lebih banyak dari yang pernah diberikan kepada istrinya
I. Ila'
Ila’ berasak dari bahasa arab yang memounyai arti tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah. Dalam syarh minhajud thalibien karya jalaluddin al mahalli (IV:8) menerangkan yang dimaksud dengan ila’ berarti sumpahnya suami untuk tidak menggauli istrinya. Dalam keterangan lain arti dari ila' yaiyu sumpah suami untuk tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bukan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu sampai 4 bulan. Kalau tidak kembali kepada istrinya sebelum sampai 4 bulan, dia wajib membayar denda sumpah kafarahnya saja. Tetapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali biak dengan istrinya, hakim berhak menyuruh memilih antara dua perkara. Membayar kafarah sumpah serta kembali baik kepada istri, atau menthalaq istrinya. Kalau suami tidak mau menjalankan kedua perkara itu, hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. Sedang menurut sebagian ulama jika suami tidak kembali selama 4 bulan maka jatuhlah thalaq bain.
Mengenai cara kembali dari sumpah ila' itu terdapat beberapa cara :
1. Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya.
2. Kembali dengan campur jika tidak ada halangan, boleh dengan lisan atau niat saja.
3. Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan ataupun tidak.
Dalam hukumnya menurut ulama’ syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut ulam’ lain diantaranya Al-Khathib berpendapat dosa orang yang mengila’ istri itu adalah dosa kecil. Namun dalam Al-Qur’an tidak adanya ayat yang secara tegas melarang perbuatan ila’, demikian pula tidak ada larangan dari nabi tentang ila’.
J. Dhihar
Dhihar adalah kata dalam bahasa arab yang berarti punggung. Sedangkan dalam artian terminologis adalah suami menyamakan istrinya dengan mahramnya. Dalam keterangan lain dijelaskan ucapan laki-laki kepada istrinya umpama “engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
Kalau ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana ia menghormati ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun kebiasaan orang arab menggunakan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinan dengan istrinya dengan mengatakan istrinya haram digaulinya sebagaimana haramnya menggauli ibunya sendiri. Dhihar ini merupakan salah satu adat arab jahiliyah, yang bila dia tidak senang kepada istrinya tetapi dia tidak mau menggunakan kata cerai, maka disamakanyalah istrinya itu dengan ibunya atau muhrimnya. Bagi mereka dhihar itu sudah merupakan salah satu bentuk pemutusan perkawinan. Hukum istri mengadopsi adat tersebut namun tidak sepenuhnya, dalam arti tidak menjadikanya sebagai suatu usaha perceraian tetapi haya sebagai pencegah suami untuk tidak menggauli istrinya.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa dhihar itu hukumnya haram. Yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari dua segi.
Pertama : kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang meenyamakan istrinya dengan ibunya.
Kedua : dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukanya itu.
• Denda Dhihar
a. memerdekakan hamba sahaya
b. jika tidak dapat memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut
c. kalau tidak kuat untuk berpuasa, memberi makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang 1/4 sha' fitrah (3/4liter)
K. Li'an
li'an adalah perkataan suami seperti "saya persaksikan kepada Allah saya benar terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia telah berzina". Kalau ada anak yang tidak diyakini bukan anaknya, hendaklah diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan tersebut hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambahnya lagi dengan kalimat "laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini"
apabila seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada, maka yang menuduh itu harus atau wajib disiksa (didera) 80 kali. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, dia boleh lepas dari siksaan tersebut dengan jalan li'an.'akibat dari li'an suami, timbul beberapa hokum :
1. Dia tidak disiksa
2. Si istri wajib disiksa dengan siksaan zina
3. Suami istri bercerai selamanya
4. Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.

L. kesimpulan
Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan kasih sayang antara suami istri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan besan akibat perkawianan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan.
Al-Qur'an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalanya aturan yang ditetapkan oelh Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternative yterakhir yang tidak mungkin dihindarkan.
Dalam uraian di atas merupakan permasalahan-permasalahan yang sulit sehingga harus adanya ketelitian serta hati-hati dalam meutuskan suatu masalah. Alternative dari tindakan perceraian adalah hal terakhir dari permasalahan rumah tangga yang tidak bias dilanjutkan lagi. Sehingga apa yang di lakukan dengan jalan perceraian itu adalah jalan terbaik bigi suami dan istri.
Oleh karenanya, hakim harus benar-benar tahu pokok dari permasalahan rumah tangga agar tidak menjadikan kekeliruan yang bias menimbulkan keburukan atau keputusan yang keliru yang menjadikan suami istri melakukan hubungan yang tidak semestinya.


DAFTAR PUSTAKA

• Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2006
• Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, PT Sinar Baru Algensindo, Bandung cet. Ke 39
• Syaltout Mahmoud, dkk, Perbandingan Mazhab, PT. Bulan Bintang, Jakarta
• Bahtsul Masail PP. Lirboyo kediri, Hidayatul Mubtadi-ien
• Ahamad Azhar Basyir, Hukum Pekawinan Islam, UII press, Yogyakarta.
• Forum Kajian As'ilah, Sang Penakluk, Blitar
• Bahtsul Masa'il PP Attarmasie, Pacitan.

Siaran langsung TVONE