Dzahir, Nash, dan Mufassar

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Jumat, 31 Desember 2010 , under , | komentar (0)



I.       Pendahuluan
Kaidah bahasa dalam menetapkan makna ayat-ayat hukum menghasilkan makna yang pasti, jelas dan qoti’ pada keumuman syariat guna memperoleh kepastian dan ketetapan hukum. Hal ini didukung oleh sifat bahasa Arab yang ilmiyah. Bahasa Arab adalah suatu ilmu yang dapat diketahui dengan pasti, arti kata-katanya dan konsep-konsep pentingnya yang benar tidaklah relative dan tidak terus menerus berubah. Jika relative dan berubah-rubah ilmu pengetahuan mengenai Al Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang benar tidak mungkin diketahui. Fungsi bahasa Arab sebagai alat interpretasi wahyu Al Quran dan komunikasi antara Tuhan dengan hamba-hambaNya menjadikannya mampu menggambarkan realitas dengan cara yang benar
Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa. Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui makna teks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al Quran dan Hadits
Dalam al qur’an dan as sunnah itu terdapat beberapa hukum, baik yang di dalamnya menyangkut ibadah ataupun muamalah. Akan tetapi hukum tersebut tidak semuanya dapat dipahami secara langsung akan tetapi masih membutuhkan takwil dan lain-lain.
Didalam makalah ini akan diuraikan tentang lafadz nash yang jelas dan kaidah-kaidah yang terkait didalamnya. Lafadz dhahir lafadz yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek. Dan mufassar makna yang global dan mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti.





II.    Pembahasan

A.    Pengertian
  1. Dhahir
Dzohir secara etimologi bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya yaitu setiap lafadz atau kalam yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan ma'na lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung ma'na yang luas ataupun tidak. Sebagaimana Firman Allah
ياايهاالنس اتقوا ربكم
atau ayat lainya
الزانى والزانية فاجلدوا كل واحد منهما
Kedua Ayat diatas memiliki dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
Ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh:
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.
kemudian Al-Bazdawi memberikan definisi sebagi berikut :
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته  
Sesuatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
 Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Atas dasar definisi-definisi tersebut, Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
 اللفظ الدي يدل عليها معناه من غير توقوف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتاويل وقبول النسخ
Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan disini antara lain:
واحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.

  1. . Nash
Nash menurut definisi para ahli ushul setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh.
Contohnya:
واحل الله البيع وحرم الربا
Disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya.
Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba
 Nash wajib hukumnya, sebagaimanan hukum Dzohir dengan pertimbangan takwil dan nasakh, meskipun pentakwilan tidak di sandarkan kepada suatu dalil atau pentakwilanya berada jauh dari ma'na dzohirnya, kedudukan nash bersifat tetap hukumnya Qat'i dan yakin.
Menurut pendapat lain dalam arti bahas nash adalah munculnya segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara’ adalah:
Menurut Addabusi:
الزائد على الظاهر بيانا اذا قوبل به
Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz zhahir.
ما ازداد وضوحا على الظاهر بمعنى المتكلم لا فى نفس الصيغة
Lafadz yang lebih jelas maknanya daripada makna Zhahir yang diambil dari si pembicarannya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.
Dari definisi-defisni tersebut dapat disimpiulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui dengan qorinah.
Atas dasar tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan baاwa yang dimaksud Nash adalah:

اللفظ الذى يدل على الحكم الذى سيق ﻷجله الكلام دلالة واضحة تحتمل التخصيص والتأويل ﺇحتمالا اضعف من ﺇحتمال الظاهر مع قبول النسخ فى عهد الرسالة
Lafaz yang menunjukan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafadz Zhahir. Selain itu ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman rosul).
Sebagai contoh ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafadz dhahir.
واحل الله البيع وحرم الربا
Dilalah Nash dari ayat diatas adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertian diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini Nash lebih memberi kejelasan Zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Adapun Kedudukan (hukum) lafadz nash sama dengan lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, menasakh atau mentakhsisnya. Perbedaan antara Dzahir dan Nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh adalah pada lafadz nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafadz zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara lafadz zhahir dan lafaz Nash, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakaianya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafadz nash

  1. Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

a.       Macam-macam mufassar :
1.      Mufassar oleh zdatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang

2.      Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya.


III.   Penutup/Kesimpulan
Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, dan Mufassar), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-tiganya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ketiga macam lafadz tersebut Karena ketiganya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.






DAFTAR PUSTAKA

·           Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 308
·           Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
·           Umam Khairul, Dkk, Ushul Fiqih II, Bandung, Pustaka Setia, 1998
·           Khallaf Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999
·           Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Jakarta, Logos Wacana, 1997
·           Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994


 By : Loetfiy

Siaran langsung TVONE