Dzahir, Nash, dan Mufassar

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Jumat, 31 Desember 2010 , under , | komentar (0)



I.       Pendahuluan
Kaidah bahasa dalam menetapkan makna ayat-ayat hukum menghasilkan makna yang pasti, jelas dan qoti’ pada keumuman syariat guna memperoleh kepastian dan ketetapan hukum. Hal ini didukung oleh sifat bahasa Arab yang ilmiyah. Bahasa Arab adalah suatu ilmu yang dapat diketahui dengan pasti, arti kata-katanya dan konsep-konsep pentingnya yang benar tidaklah relative dan tidak terus menerus berubah. Jika relative dan berubah-rubah ilmu pengetahuan mengenai Al Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang benar tidak mungkin diketahui. Fungsi bahasa Arab sebagai alat interpretasi wahyu Al Quran dan komunikasi antara Tuhan dengan hamba-hambaNya menjadikannya mampu menggambarkan realitas dengan cara yang benar
Setiap individu Muslim diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasululloh SAW tidak mudah memahami hukum-hukum dalam Al-Quran. Oleh karena itu diperlukan suatu kaidah metode penyimpulan hukum. Di antaranya adalah kaidah bahasa. Kaidah bahasa yang dimaksud adalah kaedah bahasa yang mempunyai otoritas tertinggi dalam pelbagai aspek bahasa Arab klasik yaitu bahasa Al Quran dan Assunnah. Kaidah bahasa dimaksudkan untuk mengetahui makna teks guna meraih maksud teks tersebut. Yang dimaksud teks disini adalah Al Quran dan Hadits
Dalam al qur’an dan as sunnah itu terdapat beberapa hukum, baik yang di dalamnya menyangkut ibadah ataupun muamalah. Akan tetapi hukum tersebut tidak semuanya dapat dipahami secara langsung akan tetapi masih membutuhkan takwil dan lain-lain.
Didalam makalah ini akan diuraikan tentang lafadz nash yang jelas dan kaidah-kaidah yang terkait didalamnya. Lafadz dhahir lafadz yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek. Dan mufassar makna yang global dan mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti.





II.    Pembahasan

A.    Pengertian
  1. Dhahir
Dzohir secara etimologi bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya yaitu setiap lafadz atau kalam yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan ma'na lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung ma'na yang luas ataupun tidak. Sebagaimana Firman Allah
ياايهاالنس اتقوا ربكم
atau ayat lainya
الزانى والزانية فاجلدوا كل واحد منهما
Kedua Ayat diatas memiliki dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
Ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh:
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur
ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.
kemudian Al-Bazdawi memberikan definisi sebagi berikut :
اسم لكل كلام ظهر المراد به للسامع بصيغته  
Sesuatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
 Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Atas dasar definisi-definisi tersebut, Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
 اللفظ الدي يدل عليها معناه من غير توقوف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتاويل وقبول النسخ
Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qorinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan disini antara lain:
واحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafadz itu sendiri tanpa memerlukan qorinah lain. Masing-masing dari lafadz bai’ dan riba merupakan lafadz ‘am yang mempunyai kemungkinan di takhsis.

  1. . Nash
Nash menurut definisi para ahli ushul setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh.
Contohnya:
واحل الله البيع وحرم الربا
Disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya.
Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba
 Nash wajib hukumnya, sebagaimanan hukum Dzohir dengan pertimbangan takwil dan nasakh, meskipun pentakwilan tidak di sandarkan kepada suatu dalil atau pentakwilanya berada jauh dari ma'na dzohirnya, kedudukan nash bersifat tetap hukumnya Qat'i dan yakin.
Menurut pendapat lain dalam arti bahas nash adalah munculnya segala sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara’ adalah:
Menurut Addabusi:
الزائد على الظاهر بيانا اذا قوبل به
Suatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafadz zhahir.
ما ازداد وضوحا على الظاهر بمعنى المتكلم لا فى نفس الصيغة
Lafadz yang lebih jelas maknanya daripada makna Zhahir yang diambil dari si pembicarannya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.
Dari definisi-defisni tersebut dapat disimpiulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui dengan qorinah.
Atas dasar tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan baاwa yang dimaksud Nash adalah:

اللفظ الذى يدل على الحكم الذى سيق ﻷجله الكلام دلالة واضحة تحتمل التخصيص والتأويل ﺇحتمالا اضعف من ﺇحتمال الظاهر مع قبول النسخ فى عهد الرسالة
Lafaz yang menunjukan hukum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsis dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafadz Zhahir. Selain itu ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman rosul).
Sebagai contoh ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafadz dhahir.
واحل الله البيع وحرم الربا
Dilalah Nash dari ayat diatas adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertian diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini Nash lebih memberi kejelasan Zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Adapun Kedudukan (hukum) lafadz nash sama dengan lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, menasakh atau mentakhsisnya. Perbedaan antara Dzahir dan Nash adalah kemungkinan takwil, takhsis atau nasakh adalah pada lafadz nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafadz zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara lafadz zhahir dan lafaz Nash, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakaianya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafadz nash

  1. Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.
Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

a.       Macam-macam mufassar :
1.      Mufassar oleh zdatnya sendiri
Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang

2.      Mufassar oleh lafazh lainnya
Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya.


III.   Penutup/Kesimpulan
Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, dan Mufassar), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-tiganya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ketiga macam lafadz tersebut Karena ketiganya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.






DAFTAR PUSTAKA

·           Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) 308
·           Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
·           Umam Khairul, Dkk, Ushul Fiqih II, Bandung, Pustaka Setia, 1998
·           Khallaf Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999
·           Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Jakarta, Logos Wacana, 1997
·           Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994


 By : Loetfiy

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Minggu, 10 Oktober 2010 , under | komentar (0)


DINAMIKA PARADIGMA POLITIK INDONESIA (Studi Kritis atas Perubahan Orientasi Politik Terhadap Agama)

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Rabu, 05 Mei 2010 , under | komentar (0)



I. PENDAHULUAN
Dalam Islam, hubungan agama dengan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para Pakar Islam hingga kini. Bahkan, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara agama dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan Negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama’ tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad ketika berada di madinah yang membangun system pemerintahan dalam sebuah Negara kota. Di madinah, rosulullah berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
Menyikapi realitas empiric tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rosul yang bertugas menyampaikan ajaran (Alkitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Dengan kata lain, politik atau Negara hanyalah sebagai alat bagi agama bukan suatu ekstensi dari agama.
Eksistensi Islam politik pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktifis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama negara. Tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoris” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideologi Negara Pancasila. Gejala menurunya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas.

II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Politik dalam Perspektif Sejarah
1. Politik Islam
Di Indonesia agama mayoritas adalah Islam. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan apabila pada awal kemerdekaan banyak bermunculan partai-partai yang membawa Islam. Diantara partai-partai tersebut, misalnya Syarikat Islam yang kemudian berganti PSII, Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama’, Perti dan yang lainya. Umat Islam cenderung menetapkan pilihan perjuanganya melalui saluran konstitusional dengan harapan bisa menang saat konstituante. Tetapi hubungan harmonis yang terjadi sebelumnya, pada tahun 1940-an, tidak dapat bertahan lama. Pada 1949, Masyumi semakin dikuasai oleh komunitas pembaharu yang diwakili oleh Mohammad Natsir yang berasal dari Sumatra. Kemudian lagi, Nahdlatul Ulama’ memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Akibatnya padda pemilu umum 1955, suara partai yang berasaskan Islam terpecah-pecah. Secara umum sebagai sebuah tawaran ideologi yang memantapkan diri pada masalah politik di eranya, ternyata Islam tetap banyak diwarnai oleh golongan reformis. Mohammad Natsir, adalah salah satu tokoh pembaharu yang pemikiran-pemikiranya kerap mendominasi alur politik Islam pada saat itu. Namun sejatinya, dominasi Masyumi tidak berlangsung lama terlebih pasca NU menyatakan keluar.
Setelah keduanya memisahkan diri itulah, Masyumi dan NU memainkan lakon politik yang berbeda. NU lebih banyak bekerjasama dengan unsur-unsur nasionalis radikal. Sementara Masyumi cenderung berusaha menepis langkah-langkah yang diambil Soekarno. Demikian juga seperti Partai NU, Organisasi Islam dan Partai Islam lainya juga keluar dari Masyumi. Puncaknya, Soekarno menganggap Masyumi terlibat usaha pemberontakan di daerah pada tahun 1958 dan dua tahun setelah itu Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang alias dibubarkan. Dinamika pemikiran politik kepartaian yang bertemakan Islam, pada tahun 1953 juga terjadi di Aceh. Tepat pada 21 September 1958, Daud Beureuh yang mengaku perwakilan umat Islam Aceh memproklamasikan Aceh sebagai wailayah Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo.

2. Politik Masa Orde Baru
Setelah peristiwa pemberontakan PKI 1965 berimbas sekurang-kurangnya pada dua simbol kekuatan politik orde sebelumnya, yaitu ditumpasnya PKI dan tamatnya kekuasaan Soekarno. Tergulingnya dua kekuatan tersebut berdampak pada perubahan struktur politik yang ada, seperti berakhirnya masa demokrasi terpimpin. Bertolak dari peristiwa itulah era kejayaan Orde Baru dimulai. Soeharto sendiri sebagai lambang Orde Baru diangkat sebagai presiden ke dua Indonesia dalam sidang umum MPRS V pada tanggal 27 Maret 1968. salah satu strategi politik yang dipakai Orde Baru adalah mewujudkan stabilitas politik. Orde Baru mengukuhkan manuvernya dengan cara menyederhanakan pluralisme ideologi partai-partai menjadi dua partai paketan. Pertama, Partai Persatuan Pembangunan dengan lambing Ka’bah untuk menampung Nahdlatul Ulama’, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam indonesia (PSII). Kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk menghimpun lima partai politik sekaligus seperti Partai Nasionalis Indonesia, Ikatan Pendukung kemerdekaan Indonesia, murba, partai katholik dan partai Kristen Indonesia. PPP sendiri secara sah berdiri semenjak 5 Januari 1973.
3. Politik Masa Reformasi
Tatkala terompet reformasi bergema tahun 1998, gonjang-ganjing politik bergejolak di seluruh negeri. Jagat politik Islam juga geger dengan suara politik yang terus memperebutkan massa santri yang melimpah. Yang paling nyata adalah PKB pada 23 Juli 1998. dengan suara bergemuruh, para kiai dan santri berkumpul di pesantren Ciganjur, Jaksel, mendeklarasikan PKB dengan sangat khidmat. Era reformasi juga menandai jalan fragmentasi politik Islam. Di sana ada partai yang bermunculan diantaranya PAN, PKS, PBB, PPP dan sekarang ada PKNU dan PMB. PKB, PPP, dan PKNU berselancar dalam merebutkan suara kaum santri tradisional. PKS, PAN, dan PMB, bersikeras dalam mendulang suara kaum santri modernis. Terlepas dari fragmen tersebut, diakui atau tidak, suara santri tradisional jauh lebih melimpah daripada santri modernis yang hanya berdiri di pojok-pojok kota. Santri tradisional hidup secara paguyuban yang dipimpin oleh kiai dan masih menerapkan kiai sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam sebuah pemilu.
4. Faktor-faktor Penyebab Kegagalan Politik
Faktor-faktor penyebab kegagalan politik dalam Islam :
a. Adanya tujuan ideologi yang menjadikan perpecahan agama Islam dalam partai Masyumi yang dianggap oleh Soekarno sebagai pemberontakan di daerah pada tahun 1958
b. Politik Islam semakin jauh dari nilai ideologis yang diperjuangkan. Kalkulasi kekuasaan telah mengaburkan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan lewat jalan politik.
c. Dari Islam sendiri selalu ada pertikaian yang menjadikan keretakan bagi jamaahnya yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainya.
d. Saling memperlihatkan egoisme masing-masing partai politik Islam yang menjadikan pergolakan di antara mereka.
e. Adanya konflik internal dalam partai politik Islam pada masa reformasi.
f. Munculnya pengelompokan dalam partai-partai yang berbasis Islam sehingga perpecahanpun tidak dapat terhindari.
g. Budaya KKN, ketidakadilan, dan ketidakjujuran masih hidup di Negara Indonesia. tidak hanya dari kalangan non muslim saja, namun dari kalangan yang mengaku dirinya Islam juga tidak luput dengan budaya ini.
h. Elit agama yang ikut terjun di dunia politik secara otomatis melalaikan tugasnya dalam mengemban amanat umatnya.

III. PENUTUP
Kondisi bangsa Indonesia harusnya menjadi lebih baik setelah bangsa ini memproklamasikan kemerdekaanya semenjak 17 Agustus 1945 lalu. Tapi selama puluhan tahun Indonesia merdeka, ternyata tidak banyak yang bisa dilakukan, selama berpuluh-puluh tahun itu pula, justru lebih banyak didera pesoalan dalam negeri yang tidak kunjung ditemukan solusi terbaiknya. Perubahan yang tejadi sampai sekarang justru membawa kita kepada pesoalan kebangsaan yang semakin rumit dan pelik. Pada masa pergerakan nasionala dimana tantangan yang ada adalah merebut kemerdekaan, solusisnya sangat jelas, mengangkat senjata. Kalau sekarang?
Berbincang soal politik, tentunya ada naik turun perkembangan yang melingkupinya. Bahkan karena tekanan yang begitu pelik, bisa jadi orientasi politik terhadap agama pun bisa berubah. Senada dengan perkembangan politik di masa itu. Titik tekan masa Orde lama adalah, paradigma yang dipakai dalam memandang agama adanya penyatuan antara politik dan agama, imbasnya adalah munculnya partai-partrai islam. Sedangkan dimasa Orde Baru, adanya pertentangan antara politik dan agama, sehingga ada istilah nasional dan religius, imbas yang paling nyata adalah partai-partai difusikan menjadi 3 partai saja. Berbeda degna masa reformasi, dimana titik tekanya adalah dibukanya ruang yang luas terhadap kebebasan berkehendak, dan berpolitik, imbas yang paling nyata adalah munculnya partai-pratai yang multi haluan.
Demikian sedikit uraian yang bias penulis samapiakan, tentunya masih banyak hal yang perlu dibahas dan menjadi bahan renungan kedepan. Kritik dan saran sangat penyusun harapkan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

DAFTAR BACAAN

Rosyada, Dede, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transissi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
UU RI Nomor 31 Tahun 2002, Tentang Partai Politik, Bandung: Citra Umbara, 2003


By : Loetfiy

Politik Bani Muawiyah

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Jumat, 23 April 2010 , under | komentar (0)





I. Pendahuluan
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh tuntunan Rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih di masa adanya para Sahabat. Inilah fakta sejarah yang terjadi. Namun apakah benar, tuntunan Islam dalam perpolitikan (sistem negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (khalifah). Tulisan ini secara khusus akan mengulas sejauhmana penyimpangan terhadap syariat Islam tersebut, bila ada. Dan umumnya akan melihat lebih jauh kiprah perpolitikan masa 14 Khalifah pasca Khulafaur Rasyiddin atau yang dikenal dengan masa Kekhalifahan Umayyah.
Walaupun agak enggan menyebut dengan nama keluarga Umayyah, dalam masa ini, namun fakta yang terjadi adalah pada masa ini Khalifah-khalifah yang dibai’at kebanyakan berasal dari keluarga tersebut. Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu Rasulullah saw untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984), kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai akhirnya dengan terbunuhnya Ali, Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian diba’iat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 41H/661M. Penguasaan keluarga ini berakhir pada tahun 132H/750M, dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin Muhammad Al Ja’di oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.


II. Pembahasan
A. Masa Awal Dinasti Umayah
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.
Kekuasaan Daulah Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan. Dan didukung pula adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pemerintahan ini juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam batas yang masih terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham keIslaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah. Hal ini disebabkan karena Daulah Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keIslaman, yang sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan akibat berkembangnya paham kesukuan.
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keIslaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Muawiyah bin Abi Sufyan dalam membangun Daulah Bani Umayyah menggunakan politik tipu daya, meskipun pekerjaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ia tidak gentar melakukan kejahatan. Pembunuhan adalah cara biasa, asal maksud dan tujuannya tercapai
Setelah Amirul Mukminin Ali as, berdasarkan wasiatnya dan bai’at masyarakat, Imam Hasan bin Ali as yang dalam pandangan Syi‘ah adalah imam kedua menjadi khalifah. Akan tetapi, Mu‘awiyah tidak tinggal diam. Ia mengerahkan bala tentaranya ke Irak yang pada waktu itu adalah ibu kota pemerintahan dan memerangi Hasan bin Ali as.
Dengan berbagai propaganda dan iming-iming urang yang melimpah, sedikit demi sedikit ia berhasil merusak jiwa (perang) para sahabat dan komandan tentara Hasan bin Ali as. Akhirnya, ia memaksa Hasan bin Ali—dengan dalih perdamaian—untuk menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada dirinya. Dan Hasan bin Ali pun—dengan syarat kekhalifahan harus kembali ke tangannya setelah Mu‘awiyah meninggal dunia dan para pengikut Syi‘ah tidak dianiaya—menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya.
Pada tahun 40 H., Mua’wiyah berhasil menguasai tampuk kekhalifahan Islam. Langsung ia berangkat ke Irak. Dalam sebuah ceramahnya di hadapan khalayak, ia menegaskan, “Aku tidak memerangi kamu sekalian karena ingin (menegakkan) puasa dan shalat. Tetapi, aku hanya ingin berkuasa atas kamu sekalian. Dan sekarang aku telah sampai kepada tujuan itu.”
Ia juga menegaskan, “Perjanjian dengan Hasan yang telah kutandatangani telah kubatalkan dan berada di bawah kakiku.” Dengan ucapannya ini, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia ingin memisahkan politik dari agama dan tidak akan menjamin (pelaksanaan) undang-undang dan hukum Islam, serta selalu berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya demi menjaga kekekalan pemerintahannya. Jelas bahwa pemerintahan semacam ini adalah sistem kerajaan, bukan kekhalifahan Rasulullah saw. Atas dasar ini, sebagian orang yang pernah bertamu kepadanya, mereka mengucapkan salam kepadanya atas nama seorang raja. Ia sendiri pun dalam sebagian pertemuan khususnya menegaskan bahwa pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan kerajaan, meskipun di hadapan khalayak ramai ia menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw.
Akhirnya, Mu‘awiyah yang memang kekuasaannya dibangun di atas pondasi paksaan dan ingin membangun sebuah kerajaan dengan sistem warisan mangaktuaslisaikan niatnya tersebut. Ia mengangkat anaknya, Yazid yang arogan dan tidak memiliki jiwa keagamaan sedikit pun sebagai putra mahkota dan memilihnya sebagai penggantinya Dan Yazid telah menyulut api peristiwa-peristiwa yang sangat memalukan itu.
Dengan ucapannya itu, Mu‘awiyah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan mengizinkan Hasan as memegang kembali kekhalifahan. Yaitu, berkenaan dengan kekhalifahan setelah dirinya, ia mempunyai pogram lain. Program tersebut adalah membunuh Hasan as dengan menggunakan racun, dan dengan itu, ia ingin melapangkan jalan bagi anaknya sendiri. Dengan menginjak-injak pernjanjian damai itu, Mu‘awiyah ingin memahamkan kepada masyarakat luas bahwa ia tidak akan memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi‘ah untuk hidup aman dan tenang, dan untuk—seperti masa-masa sebelumnya—meneruskan kegiatan-kegiatan mereka. Ia pun telah merealisasikan niat buruknya itu
Ia telah mengumumkan (dengan tegas) bahwa barangsiapa menukil sebuah hadis tentang manâqib Ahlulbait as, maka jiwa, harta, dan harga dirinya tidak akan mendapatkan jaminan keselamatan dan ia juga memerintahkan, barangsiapa mendapatkan sebuah hadis tentang pujian dan manâqib para sahabat dan khalifah, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang memuaskan. Akhirnya, banyak hadis yang dibuat dan dipalsukan berkenaan dengan keutamaan para sahabat. Ia juga memerintahkan supaya Ali as dicaci-maki di atas mimbar-mimbar pidato di seluruh penjuru pemerintahan Islam. (Perintah ini masih terus berlaku hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umaiyah, pada tahun 99-101 H.). Ia dengan bantuan para antek dan sutradara politiknya yang sebagian mereka adalah sahabat telah membunuh para pengikut Ali as dan menamcapkan kepala sebagian dari mereka di atas tombak, lalu mengelilingkannya di kota-kota. Ia memaksa para pengikut Syi‘ah di mana pun mereka berada untuk mencaci-maki Ali, dan jika mereka enggan melakukannya, maka mereka akan dibunuh .
B. Sistem Politik Dan Perluasan Wilayah
Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd Al-Malik, dia menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Mayoritas penduduk dikawasan ini kaum Paganis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41H / 661M. pada tahun 43H / 663M mereka mampu menaklukkan Salistan dan menaklukkan sebagian wilayah Thakaristan pada tahun 45H / 665M. Mereka sampai kewilayah Quhistan pada tahun 44H / 664M. Abdullah Bin Ziyad tiba dipegunungan Bukhari. Pada tahun 44H / 664M para tentaranya datang ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maitan.
Ekspansi kebarat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia, tidak ada pemberontakan dimasa pemerintahanya. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi, disamping itu juga melakukan pembangunan fisik dalam skala besar.
Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan Islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.
Selanjutnya Ibu Kota Spanyol Kordova dengan cepatnya dapat dikuasai, menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada masa inilah pemerintah Islam mencapai wilayah yang demikian luas dalam rentang sejarahnya, dia wafat pada tahun 96H / 714M dan memerintah selama 10 tahun.
Di zaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Dia mendistribusikan sedekah dan zakat dengan cara yang benar hingga kemiskinan tidak ada lagi di zamannya. Dimasa pemerintahannya tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat ataupun sedekah. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin. Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan Islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis. sangat sedikit terjadi perang dimasa pemerintahan Umar. Dakwah Islam marak dengan menggunakan nasehat yang penuh hikmah sehingga banyak orang masuk Islam, masa pemerintahan Umar Bin Abd Aziz terhitung pendek.
Di zaman Hasyim Ibn Abd Al-Malik (724-743M) pemerintahannya dikenal dengan adanya perbaikan-perbaikan dan menjadikan tanah-tanah produktif. Dia membangun kota Rasyafah dan membereskan tata administrasi. Hasyim dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan pertumpahan darah. Namun dia dikenal sangat kikir dan pelit. Penaklukan dimasa pemerintahannya yang dipimpin oleh Abdur Rahman Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers, dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi diluar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Prancis pada tahun 114H / 732M. peristiwa penyerangan ini merupakan peristiwa yang sangat membahayakan Eropa.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik ditimur maupun barat. Wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan Purkmenia, Ulbek, dan Kilgis di Asia Tengah.
Khususnya dibidang Tashri, kemajuan yang diperoleh sedikit sekali, sebab kurangnya dukungan serta bantuan pemerintah (kerajaan) waktu itu. Baru setelah masa khalifah Umar Bin Abd Al-Aziz kemajuan dibidang Tashri mulai meningkat, beliau berusaha mempertahankan perkembangan hadits yang hampir mengecewakan, karena para penghafal hadits sudah meninggal sehingga Umar Bin Abd Al-Aziz berusaha untuk membukukan Hadits.
Pada ini juga, politik telah mengaami kamajuan dan perubahan, sehingga lebih teratur dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama dalam hal Khilafah (kepemimpinan), dibentuknya Al-Kitabah (Sekretariat Negara), Al-Hijabah (Ajudan), Organisasi Keuangan, Organisasi Keahakiman dan Organisasi Tata Usaha Negara.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan .
C. Sistem Ekonomi
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
• Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
• Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
D. Sistem Peradilan Dan Pengembangan Peradaban
Meskipun sering kali terjadi pergolakan dan pergumulan politik pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, namun terdapat juga usaha positif yang dilakukan daulah ini untuk kesejahteraan rakyatnya.
Diantara usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk:
• Gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
• Pembangunan pertanian, termasuk irigasi.
• Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
• Perlengkapan perang
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Disamping itu, kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pengembangan peradaban seperti pembangunan di berbagai bidang, seperti:
o Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
o Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
o Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
o Pembuatan mata uang di zaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri Islam.
o Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
o Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
E. Kemajuan Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut. Kekuatan militer pada masa Bani Umayyah jauh lebh berkembang dari masa sebelumnya, sebab diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nizhamut Tajnidil Ijbary). Sedangkan pada masa sebelumnya, yakni masa Khulafaurrasyidin, tentara adalah merupakan pasukan sukarela. Politik ketentaraan Bani Umayyah adalah politik Arab, dimana tentara harus dari orang Arab sendiri atau dari unsure Arab.
Pada masa ini juga, telah dibangun Armada Islam yang hampir sempurna hingga mencapai 17.000 kapal yang dengan mudah dapat menaklukan Pulau Rhodus dengan panglimanya Laksamana Aqabah bin Amir. Disamping itu Muawiyah juga telah membentuk “Armada Musin Panas dan Armada Musim Dingin”, sehingga memungkinkannya untuk bertempur dalam segala musim.

F. Sistem Pergantian Kepala Negara Dan Keruntuhan Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah .




III. Kesimpulan
Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut, dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang diangkat oleh Allah .
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan Ibn Ali ketika dia naik tahta yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan
Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran dan kehancuran adalah sebagai berikut:
• Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
• Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
• Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
• Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
• Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian khalifah
• Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
• Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
• Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang
• Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib dan didukung oleh Bani Hasyim, kaum Syi`ah dan kaum Mawali.

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Maududi Abuk A'la, Khilafah dan Kerajaan, Kharisma, Bandung, cet. I, 2007
 http://tristiono.wordpress.com 2009/03/16/ Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani Abbasiyah
 Rais Muhammad Dhiauddin, Teori Politik Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2001
 Armstrong Karen, Islam Sejarah Singkat, Jendela : Yogyakarta, cet. I, 2002
 Syalabi A, sejarah kebudayaan dan Islam, Jakarta : P.T. Pustaka Al-Husna Baru, 2003
 As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001
 Muchtar Ghazali, Adeng, Drs. M.Ag, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet.I, CV.Pustaka Setia; Bandung: 2004
 Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001
 Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Serambi : Jakarta



By : Lutfiy

Thalaq

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on , under | komentar (0)



I. Pendahuluan

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah satu suami istri. Inilah yang dikehendaki dalam Islam. Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan kasih sayang antara suami istri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan besan akibat perkawianan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan.
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Misalnya, salah satu suami atau istrinya ternyata mandul sehingga tujuan melanjutkan keturunan terhalang, padahal salah satu pihak benar-benar menginginkan keturunan. Dalam hal ini, Islam sama sekali tidak mengekang keinginan kodrati pihak-pihak yang bersangkutan. Dimungkinkan berpoligami bagi suami atau dibenarkan menghentikan perkawinan dengan jalan khuluk (talak tebus) lewat pengadilan. Ataupun masalah rumah tangga lainya yang berbagai macam.
Dari contoh keadaan yang dapat menjadi alasan terhentinya perkawinan antara suami istri, dapat diperoleh ketenyuan bahwa Islam membenarkan terjadinya putus perkawinan untuk memenuhi tuntutan kebaikan hidup rumah tangga, bukan sebaliknya, mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Walaupun sebenarnya semula thalaq itu dilarang, karena terdapat pengertian kufur kepada nikmatnya dalam pernikahan, merobohkan tujuanya. Namun dengan adanya keadaan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan ikatan pernikahan maka ketentuan syara' yang bijaksana memperbolehkan putusnya perkawinan. Oleh karena itu, khusus mengenai putusnya perkawinan dengan jalan thalaq ini Islam memberikan pedoman-pedoman yang harus diperhatikan sehingga memberikan pengertian bahwa jalan thalaq ini adalah jalan yang ditempuh dalam hubungan suami istri yang memang ada masalah dalam berhubungan. Oleh karena itu, bahasan dalam makalah kami ini adalah bab tentang thalaq. Semoga apa yang bias kami usahakan ini mampu memberikan pengertian dan pemahaman kepada para pembaca sekalian.



II. Pembahasan
A. Definisi
Secarta harfiyah thalaq itu berarti lepas dan bebas. Thalaq adalah terputusnya ikatan pernikahan dengan menggunakan kata yang shorih (jelas) atau kinayah (sindiran). Dihubungkanya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubunganya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatanya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinaya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarakh Minhaj al-Thalibin merumuskan "Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafad thalaq dan sejenisnya.
Dari rumusan yang dikemukakan oleh Al-Mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kata kunci yang menunujukkan hakikat dari perceraian yang bernama thalaq.
Pertama : Kata "melepaskan" atau membukamengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama itu terikat, yaitu ikatan perkawinan
Kedua : "ikatan perkawinan", yang mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selam ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga : Kata "dengan lafad thalaq dan sejenisnya" mengandung artu bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata thalaq tidak disebut dengan "putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
B. Hukum Thalaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rosul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rosul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan bila dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.hkum makruh itu dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya thalaq itu dengan berbagai penahapan.
Memang tidak terdapat dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu. Sedangkan perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukanya. Walau banyak ayat Al-Qur’an yang mengatur thalaq, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq mesti terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau karangan. Kalau mau men-thalaq seharusnya sewaktu istri itu berada dalam keadaan yang siap memasuki masa iddah, seperti dalam firman Allah dalam surat at-thalaq ayat 1 :
 •     
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.
Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 232 :
         
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.
Meskipun tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan thalaq yang mengandung arti hukumnya mubah, namun thalaq termasuk perbuatan yang tidak disenangi nabi. Hal itu mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Seperti dalam hadistnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim :
أبغض الحلال على الله الطلاق
Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq
Walaupun hukum asal dari thalaq adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukumnya adalah :
1. Nadab (sunah), seperti Thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang berperangai buruk dan kurang dapat menjaga dirinya atau suami sudah tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibanya (nafkahnya) .
2. Mubah, seperti boleh men-thalaq istrinya yang sama sekali tidak dicintainya. Dan sang suami merasa keberatan bila harus memberi nafkah, sementara ia tidak mampu istimta' (bermesraan) denganya .
3. Wajib (mesti dilakukan), yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar dia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakanya itu memudharatkan istrinya.
4. Haram thalaq itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli .
C. Hikmah Adanya Thalaq
Hikmah diperbolehkanya thalaq itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk thalaq tersebut. Dengan demikian, thalaq dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan kemaslahatan.
D. Syarat-Syarat Thalaq
Pihak yang menjatuhkan thalaq :
1. Telah baligh
2. Berakal sehat
3. Tidak dalam keadaan terpaksa
4. Perempuan yang di-thalaq berada di bawah wilayah atau kekuasaan laki-laki yang men-thalaq, yaitu istri yang mash terikat dalam tali pernikahan denganya.
Orang yang tidak sah menjatuhkan thalaq itu ada empat macam :
1. Anak kecil
2. Orang gila
3. Orang yang tidur
4. Orang yang dipaksa
E. Macam-Macam Thalaq
Thalaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa keadaan.
Dengan melihat kepada keadaan istri waktu thalaq itu diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam :
1. Thialaq Sunni.
Yang dimaksud dengan thalaq sunni ialah thailaq yang pelaksanaanya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi. Bentuk thalaq sunni yang disepakati oleh ulama adalah thalaq yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Diantara ketentuan menjatuhkan thalaq itu dalam masa si istri yang dithalaq langsung memasuki masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
 •     
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
Yang dimaksud dengan masa iddah disini adalah dalam masa suci yang belum digauli oleh suami. Cara-cara thalaq yang termasuk dalam thalaq sunni di luar yang disepakati ulama diantaranya adalah thalaq dalam masa iddah, namun diikuti lagi dengan thalaq berikutnya. Thalaq dalam bentuk ini tidak disepakati ulama. Imam Malik berpendapat bahwa thalaq semacam itu tidak termasuk thalaq sunni. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan yang demikian adalah thalaq sunni. Hal ini juga berlaku dikalangan Ulama Zhahiriyah.
Berkenaan dengna thalaq tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam Malik adalah bukan thalaq sunni sedangkan Imam Syafi'i dan juga menurut Daud Al-Zhahiriy memandang yang demikian adalah thalaq sunni. Alasanya adalah bahwa selama thalaq yang diucapkan itu berada sewaktu suci yang belum dicampuri adalah thalaq sunni.
Menurut Ulama Hanafiyah thalaq tiga yang termasuk thalaq sunni adalah thalaq tiga yang setiap thalaq dilakukan dalam masa suci, dalam arti thalaq tiga tidak dengan satu ucapan.
Tentang thalaq dalam masa hamil menurut Jumhurul Ulama adalah thalaq sunni. dengan alasan bahwa thalaq diwaktu hamil itu tidak menyebabkan istri yang di-thalaq mengalami perpanjangan masa iddah, karena bagaimana juga iddahnya akan berakhir dengan melahirkan anak. Ini kalau hanya melihat dari satu sisi, yaitu tidak memanjangnya masa iddah. Tetapi kalau dilihat dari satu sisi lain thalaq dalam masa hamil itu mendatangkan kemudharatan yang lebih banyak kepada istri yang dithalaq. Oleh karena itu, sebagian ulama menempatkanya sebagai thalaq bid'iy.
2. Thalaq Bid'iy
Yaitu thalaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. Bentuk thalaq yang disepakati ulama termasuk dalam kategori thalaq bid'iy itu ialah thalaq yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini disebut thalaq bid'iy karena menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan thalaq pada waktu istri dapat langsung memulai iddahnya. Hukum thalaq bid'iy adalah haram dengan alasan memberi mudharat kepada istri, karena memperpanjang masa iddahnya.
Walaupun ulama' sepakat tentang haramnya men-thalaq istri sedang haid, namun mereka berbeda pendapat apakah thalaq yang dilakukan oleh suami waktu haid itu terjadi atau tidak. Jumhur ulama berpandapat bahwa talaq itu jatuh. Alasanya dalam hadist ibnu umar dikatakan bahwa nabi menyuruh ibnu umar yang menceraikan istrinya dalam masa haid untuk merujuknya. Rujuk itu mengandung arti bahwa sebelumnya telah terjadi thalaq.
Selanjutnya ulama' ini berbeda pendapat tentang apakah suami yang menthalaq istrinya dalam masa haid itu dipaksa untuk kembali atau tidak. Menurut Imam Malik dan pengikutnya suami itu wajib kembali pada istrinya dan dipaksa kalau tidak mau. Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-Tsauriy, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum rujuk disini hanyalah sunnah, dan oleh karena itu suami tidak dipaksa untuk kembali kepada istrinya, suruhan yang dilakukan oelh nabi itu bukanlah untuk perintah namun hanya anjuran.
Sebagian ulama termasuk ulama Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa thalaq dalam masa haid itu tidak jatuh. Alasanya adalah karena thalaq seperti itu tidak diterima oleh nabi. Dengan demikian, tidak sesuai dengan aturan nabi dan yang tidak sesuai dengan aturan nabi itu adalah bid'ah. Hal ini sesuai dengan hadist nabi :
كل فعل أو عمل ليس عليه أمرنا فهو رد
Segala urusan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan kami adalam ditolak.
Ditolaknya cara thalaq tersebut menunjukkan bahwa thalaq tersebut tidak terjadi.
Ulama Hanafiyah membagi thalaq itu dari segi keadaan istri yang dithalaq kepada tiga macam :
1. Thalaq ahsan, yaitu thalaq yang disepakati ulama sebagai thalaq sunni, yaitu thalaq ynag dijatuhkan pada waktu istri sedang dalam keadaan suci dan tidak dicampuri dalam masa suci itu.
2. Thalaq hasan, yaitu bentuk-bentuk thalaq yang diperselisihkan ulama sebagai thalaq sunni seperti thalaq dalam waktu istri sedang hamil.
3. Thalaq bid'iy, yaitu thalaq dalam masa haid atau dalam masa suci yang telah digauli dalam masa itu.
Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan istrinya, thalaq itu ada dua :
1. Thalaq raj'iy, yaitu thalaq yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq raj'iy ini adalah thalaq satu atau dua tnapa didahului tebusan dari pihak istri.
2. Thalaq ba'in, yaitu thalaq yang putus secara penuh dalam artian tidak mungkin suami kembali kepada istrinya kecuali dengan akad nikah yang baru.
Thalaq ba'in ini terbagi pula dalam dua macam :
1. Ba'in sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk thalaq ba'in sughra ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Thalaq yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan untuk rujuk, sebab rujuk hanya dilakukan dalam masa iddah.
Kedua : Thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri yang disebut khulu'
Ketiga : Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.
2. Ba'in kubra, yaitu thalaq yang tidak memungkinkan suami rujuk kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain kemudian sudah dicampuri dan berserai pula dengan laki-laki it serta habis masa iddahnya. Yang termasuk dalam bentuk ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Istri yang telah dithalaq tiga kali. Thalaq tiga dalam pengertian thalaq ba'in itu yang disepakati ulama' yaitu thalaq tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara thalaq satu dengan lainya diselingi oleh masa iddah.
Tentang thalaq tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan, menjadi perbincangan dikalangan ulama'.
Pendapat pertama : Thalaq tiga dalam satu ucapan itu tidak jatuh. Alasanya adalah karena dimasukkanya thalaq seperti ini kedalam thalaq bid'iy, yang menurut sebagian ulama' diantaranya ulama imamiyah diceritakan dari tabiin dan dari Ibnu 'Aliyah serta Hisyam bin Hakam dan sebagian Ahlu Dhahir tidak jatuh sebagaimana keadaanya thalaq dalam masa haid.
Pendapat kedua : menurut imam empat, kebanyakan sahabat dan tabi'in mengatakan bahwa thalaq tiga sekaligus itu jatuh thalaq tiga, dengan sendirinya termasuk thalaq bain. Alasan yang digunakan golongan ini tidak memisahkan antara thalaq tiga dalam satu ucapan atau dilakukan secara terpisah.
Pendapat ketiga : Ulama' Dhahiriyah, Syi'ah Imamiyah, dan Al-Hadawiyah, berpendapat bahwa thalaq tiga dalam satu ucapan jatuh thalaq satu dalam kategori thalaq sunni.
Pendapat keempat : Merupakan pendapat Sahabat Ibnu Abbas yang kemudian diikuti oleh Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini mengatakan bahwa seandainya thalaq tiga dalam satu ucapan itu dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami istri, maka yang jatuh adalah thalaq tiga, dan oleh karenanya termasuk thalaq bain kubra, namun bila thalaq diucapkan sebelum diantara keduanya terjadi hubungan kelamin yang jatuh hanyalah thalaq satu.
Kedua : Istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li'an. Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang dili'an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhurul ulama. Hal ini secara lengkap akan dijelaskan pada tempatnya.

F. Sighat atau Ucapan Thalaq
Ucapan thalaq secara mutlak :
1. Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan seperti "saya ceraikan engkau". Kalimat yang sarih ini tidak perlu dengan niat.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh diartikan untuk perceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami, "pulanglah engkau ke rumah keluargamu". Kalimat sindiran ini bergantung pada niat, artinya kalau tidak diniatkan untuk perceraian nikah, tidaklah jatuh thalaq. Kalu diniatkan untuk menjatuhkan talak barulah menjadi thalaq.
Ucapan thalaq yang digantungkan kepada sesuatu :
1. Ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak dari sesuatu yang mempunyai kebebasan untuk berbuat, baik ia adalah Allah swt ataupun manusia. Bila ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak Allah, seperti "engkau saya thalaq insya Allah". Thalaq dengan menggunakan ucapan seperti ini menurut imam malik terjadi atau jatuh thalaqnya dan pengecualian yang disebutkan dalam ucapan tidak punya pengaruh apa-apa. Menurut abu hanifah dan imam syafi'I dan yang berlaku dikalangan ulama zhahiriyah thalaq yang disyaratkan dengan kehendak Allah tidak jatuh.
Bila ucapan thalaq digantungkan kepada kehendak seseorang yang kehendaknya itu dah dilakukan, seperti "engkau saya thalaq bila dikehendaki oleh bapak direktur", tak ada beda pendapat dalam Madzhab Maliki bahwa thalaq jatuh bila bapak direktur menghendakinya. Hal ini berarti jatuhnya thalaq berlaku saat syarat yang disebutkan terlaksana.
2. Thalaq yang digantungkan kepada terjadinya sesuatu dimasa yang akan datang. Ucapan dalam bentuk ini ada tiga kemungkinan. Kemungkunan pertama, thalaq digantungkan kepada suatu kejadian yang yang pasti terjadi, seperti, "engkau saya thalaq bila terbit matahari esok pagi". Dalam hal kapan jatuhnya thalaq menurut imam malik thalaqnya jatuh secara langsung. Sedangkan menurut imam syafi'I dan abu hanifah, thalaq jatuh setelah syarat yang diucapkan terjadi, yaitu sewaktu terbitnya matahari esok harinya.
Kemungkinan kedua, ucapan thalaq digantungkan kepada sesuatu kejaadian yang antara terjadi dan tidaknya adalah sama, seperti "engkau saya thalaq bila ayahmu pulang". Dalam hal ini sepakat ulama mengatakan bahwa thalaq terjadi saat yang dipersyaratkan telah terjadi.
Kemungkinan ketiga, ucapan thalaq digantungkan kepada sesuatu kejadian yang menurut biasanya terjadi dan terkadang tidak terjadi, seperti "engkau saya thalaq bila engkau tidak lulus ujian". Thalaq seperti ini menurut sebagian ulama maliki jatuh setelah terjadinya apa yang disyaratkan dan sebagian berpendapat terjatuh thalaq secara langsung setelah ucapan thalaq diucapkan.
Thalaq dilihat dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan thalaq itu dibagi menjadi dua macam :
1. Thalaq mubasyir, yaitu thalaq yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan thalaq, tanpa melalui perantara atau wakil.
2. Thalaq tawkil, yaitu thalaq yang pengucapanya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Seperti ucapan suami " saya serahkan kepadamu untuk menthalaq dirimu", secara khusus disebut thalaq tafwidh. Secara lafad tafwidh mengandung arti melimpahkan. Berkenaan dengan wewenang istri dalam bentuk thalaq tafwidh itu, ulama' tidak sepakat. Sebagian ulama syafi'iyah menempatkanya sebagai tamlik atau menyerahkanya, sedangkan yang lain menempatkanya sebagai takwil.
G. Thalaq dengan istisna' (pengecualian)
istisna' artinya mengurangkan maksud perkataan yang telah terdahulu dengan perkataan yang kemudian. Istisna' dalam kalimat thalaq hukumnya sah, dengan syarat perkataan pertama berhubungan dengan perkataan yang kedua, dan kalimat yang kedua tidak menghabisi maksud kalimat yang pertama. Umpamanya "engkau terthalaq tiga kali kecuali dua" maka jatuhlah thalaq satu. Tetapi kalau dikatakanya "engkau terthalaq tiga, kecuali tiga" maka jatuhlah thalaq tiga.
H. Khulu' (thalaq tebus)
Khulu' artinya thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami. Thalaq tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun sewaktu haid. Karena biasanya khulu' ini terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang.
Perceraian yang dilakukan secara thalaq tebus ini berakibat bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru. Sebagian ulama memperbolehkan thalaq tebus, baik terjadinya karena keinginan istri maupun suami. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh talak tebus kecuali apabila keinginan bercerai itu dating dari pihak istri karena benci kepada suaminya, dan bukan disebabkan kesalahan suami, sebab kalau thalaq tebus itu atas kehendak suami atau karena tekanan dari suami, hal itu berarti merupakan paksaan kepada istri untuk mengorbankan hartanya guna keuntungan suami; dan kalau suami yang bercerai atau suami benci kepada istrinya, ia dapat bertindak dengan perceraian yang biasa. Sebab hak thalaq itu ada didalam kekuasaanya.
Pengarang kitab ayatul ahkam "Semua fuqaha berpendapat bahwa suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan thalaq tebus.
Untuk maksud yang sama dengan kata khulu' ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shulh, dan mubaraah. Walaupun dalam maknanya yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu'. Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar, disebut shulh. Bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.
• Iwadh / tebusan atau pengganti dalam khulu’
a. Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa iwadh khulu’ boleh berupa maskawin atau sebagian dari maskawin atau dengan barang lainnya, baik jumlahnya lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah maskawin, baik dengan tunai atau dengan cara diangsur.
b. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa suami tidak dibenarkan meminta lebih banyak dari yang pernah diberikan kepada istrinya
I. Ila'
Ila’ berasak dari bahasa arab yang memounyai arti tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah. Dalam syarh minhajud thalibien karya jalaluddin al mahalli (IV:8) menerangkan yang dimaksud dengan ila’ berarti sumpahnya suami untuk tidak menggauli istrinya. Dalam keterangan lain arti dari ila' yaiyu sumpah suami untuk tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bukan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu sampai 4 bulan. Kalau tidak kembali kepada istrinya sebelum sampai 4 bulan, dia wajib membayar denda sumpah kafarahnya saja. Tetapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali biak dengan istrinya, hakim berhak menyuruh memilih antara dua perkara. Membayar kafarah sumpah serta kembali baik kepada istri, atau menthalaq istrinya. Kalau suami tidak mau menjalankan kedua perkara itu, hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. Sedang menurut sebagian ulama jika suami tidak kembali selama 4 bulan maka jatuhlah thalaq bain.
Mengenai cara kembali dari sumpah ila' itu terdapat beberapa cara :
1. Kembali dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar (berbuat) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya.
2. Kembali dengan campur jika tidak ada halangan, boleh dengan lisan atau niat saja.
3. Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan ataupun tidak.
Dalam hukumnya menurut ulama’ syafi’iyah adalah dosa besar, sedangkan menurut ulam’ lain diantaranya Al-Khathib berpendapat dosa orang yang mengila’ istri itu adalah dosa kecil. Namun dalam Al-Qur’an tidak adanya ayat yang secara tegas melarang perbuatan ila’, demikian pula tidak ada larangan dari nabi tentang ila’.
J. Dhihar
Dhihar adalah kata dalam bahasa arab yang berarti punggung. Sedangkan dalam artian terminologis adalah suami menyamakan istrinya dengan mahramnya. Dalam keterangan lain dijelaskan ucapan laki-laki kepada istrinya umpama “engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
Kalau ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana ia menghormati ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun kebiasaan orang arab menggunakan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinan dengan istrinya dengan mengatakan istrinya haram digaulinya sebagaimana haramnya menggauli ibunya sendiri. Dhihar ini merupakan salah satu adat arab jahiliyah, yang bila dia tidak senang kepada istrinya tetapi dia tidak mau menggunakan kata cerai, maka disamakanyalah istrinya itu dengan ibunya atau muhrimnya. Bagi mereka dhihar itu sudah merupakan salah satu bentuk pemutusan perkawinan. Hukum istri mengadopsi adat tersebut namun tidak sepenuhnya, dalam arti tidak menjadikanya sebagai suatu usaha perceraian tetapi haya sebagai pencegah suami untuk tidak menggauli istrinya.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa dhihar itu hukumnya haram. Yang menjadi dasar dari haram itu dapat dilihat dari dua segi.
Pertama : kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang meenyamakan istrinya dengan ibunya.
Kedua : dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukanya itu.
• Denda Dhihar
a. memerdekakan hamba sahaya
b. jika tidak dapat memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut
c. kalau tidak kuat untuk berpuasa, memberi makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang 1/4 sha' fitrah (3/4liter)
K. Li'an
li'an adalah perkataan suami seperti "saya persaksikan kepada Allah saya benar terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia telah berzina". Kalau ada anak yang tidak diyakini bukan anaknya, hendaklah diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan tersebut hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambahnya lagi dengan kalimat "laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini"
apabila seseorang menuduh orang lain berzina, sedangkan saksi yang cukup tidak ada, maka yang menuduh itu harus atau wajib disiksa (didera) 80 kali. Tetapi kalau yang menuduh itu suaminya sendiri, dia boleh lepas dari siksaan tersebut dengan jalan li'an.'akibat dari li'an suami, timbul beberapa hokum :
1. Dia tidak disiksa
2. Si istri wajib disiksa dengan siksaan zina
3. Suami istri bercerai selamanya
4. Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.

L. kesimpulan
Allah menentukan syariat perkawinan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan kasih sayang antara suami istri, antara mereka dan anak-anaknya, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan besan akibat perkawianan suami istri itu, dan untuk melanjutkan keturunan dengan cara berkehormatan.
Al-Qur'an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalanya aturan yang ditetapkan oelh Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternative yterakhir yang tidak mungkin dihindarkan.
Dalam uraian di atas merupakan permasalahan-permasalahan yang sulit sehingga harus adanya ketelitian serta hati-hati dalam meutuskan suatu masalah. Alternative dari tindakan perceraian adalah hal terakhir dari permasalahan rumah tangga yang tidak bias dilanjutkan lagi. Sehingga apa yang di lakukan dengan jalan perceraian itu adalah jalan terbaik bigi suami dan istri.
Oleh karenanya, hakim harus benar-benar tahu pokok dari permasalahan rumah tangga agar tidak menjadikan kekeliruan yang bias menimbulkan keburukan atau keputusan yang keliru yang menjadikan suami istri melakukan hubungan yang tidak semestinya.


DAFTAR PUSTAKA

• Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2006
• Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, PT Sinar Baru Algensindo, Bandung cet. Ke 39
• Syaltout Mahmoud, dkk, Perbandingan Mazhab, PT. Bulan Bintang, Jakarta
• Bahtsul Masail PP. Lirboyo kediri, Hidayatul Mubtadi-ien
• Ahamad Azhar Basyir, Hukum Pekawinan Islam, UII press, Yogyakarta.
• Forum Kajian As'ilah, Sang Penakluk, Blitar
• Bahtsul Masa'il PP Attarmasie, Pacitan.

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Posted by hmj syariah STAIN SL3 on Rabu, 31 Maret 2010 , under , | komentar (0)



BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a.     Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita;
b.     Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c.     Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d.     Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e.     Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f.     Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g.     Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h.     Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i.     Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j.     Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.



Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5
(1)    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2)    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6
(1)    Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)     Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

BAB III
PEMINANGAN

Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang`wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Rukun

Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a.     Calon Suami;
b.     Calon Isteri;
c.     Wali nikah;
d.     Dua orang saksi dan;
e.     Ijab dan Kabul.


Bagian Kedua
Calon Mempelai

Pasal 15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga
Wali Nikah

Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a.     Wali nasab;
b.     Wali hakim.


Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
    Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
    Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
    Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
    Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat
Saksi Nikah

Pasal 24
(1)     Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2)     Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.


Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima
Akad Nikah

Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

BAB V
MAHAR

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.


Pasal 33
(1)     Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)    Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.


Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB VI
LARANGAN KAWIN

Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a.    dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b.     dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c.     dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a.     dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b.     dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c.     dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d.     dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a.     dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b.     dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c.     dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d.     dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e.     dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41
(1)    Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a.     saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b.     wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.     dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b.     dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.





BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46
(1)     Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2)    Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3)    Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

(1)    Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2)    Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempatperkawinan dilangsungkan
(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberihak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII
KAWIN HAMIL

Pasal 53
(1)    Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.




BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akanberisteri lebih dari seorang apabila:
a.     isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.     isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.     isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1)    Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.     adanya pesetujuan isteri;
b.     adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)     Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)     Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.




Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.

Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65
(1)    Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 69
(1)    Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2)    Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3)     Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4)     Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5)     Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a.     Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b.     seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c.     seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d.     perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1.     berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2.     berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.     berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4.     berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e.     isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.     seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.     perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.     perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.     perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e.     perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.     perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72
(1)    Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)     Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3)     Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.     para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b.     Suami atau isteri;
c.     Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d.     para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Pasal 74
(1)     Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2)     Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.     perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b.     anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.    pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.

Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 77
(1)     Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
(2)     Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
(3)     Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4)     suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5)     jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

Pasal 78
(1)     Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)     Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.

Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga
Kewajiban Suami

Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang

Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

Bagian Keenam
Kewajiban Isteri

Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)    Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.

Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93
1.     Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2.     Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3.     Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4.     Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri




Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang ,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96
1.     Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2.     Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK

Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.



Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal 102
(1)     Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

BAB XV
PERWALIAN

Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.


Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a.     Kematian,
b.     Perceraian, dan
c.     atas putusan Pengadilan.

Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.     salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.     salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.     salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.     salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.     salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.     antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.     Suami melanggar taklik talak;
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

Pasal 119
1.     Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2.     Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a.     talak yang terjadi qabla al dukhul;
b.     talak dengan tebusan atahu khuluk;
c.     talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122
Talak bid`I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan

Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.



Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut:
a.     Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
b.     Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c.     tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.

Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian

Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi

Pasal 131
1.     Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2.     Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3.     Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4.     Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5.     Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal 132
1.     Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2.     Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 133
1.     Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2.     Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama.

Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Pasal 135
Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 136
1.     Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2.     Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
a.     menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.     menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri

Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 138
1.    Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2.     Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
3.     Tenggang diwaktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4.     Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat

Pasal 141
1.     Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2.     Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
3.     Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142
1.     Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
2.     Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.



Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 146
(1)     Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2)     Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap

Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat keterangan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6)    Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Akibat Talak

Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua
Waktu Tunggu

Pasal 153
1..     Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2.     Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.     Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b.     Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukerang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c.     Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d.     Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3.     Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4.     Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
5.     Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6.     Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.

Bagian Ketiga
Akibat Perceraian

Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan pasal 97.

Bagian Keempat
Mut`ah

Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158

Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Bagian Kelima
Akibat Khuluk

Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk





Bagian Keenam
Akibat Li`an

Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

BAB XVIII
RUJUK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 163
(1)    Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2)     Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.     putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b.     putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.

Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 166

Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk

Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB XIX
MASA BERKABUNG

Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.

BUKU II
HUKUM KEWARISAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a.     Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b.     Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c.     Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d.     Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e.     Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f.     Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g.     Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h.    Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
i.     Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II
AHLI WARIS

Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.     dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a.     Menurut hubungan darah:
-    golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
-    golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b.     Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a.     mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b.     menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
c.     menyelesaikan wasiat pewaris;
d.     membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2)    Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

BAB III
BESARNYA BAHAGIAN

Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. *

Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.



Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.

Pasal 180
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

Pasal 187
(1) Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a.     mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
b.     menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

BAB IV
AUL DAN RAD

Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang.



Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V
WASIAT

Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.     dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b.     dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c.     dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d.    dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.     tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b.     mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c.     mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan jangka waktu tertentu.

Pasal 199
(1)    Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakanpersetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2)    Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atautertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiatterdahulu dibuat secara lisan.
(3)    Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4)    Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris.

Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.

Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.

Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.




Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

Pasal 209

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

BAB VI
HIBAH

Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.


Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.


Pasal 213
Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5)    Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf

Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi.
(2)     Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.     warga negara Indonesia;
b.     beragama Islam;
c.     sudah dewasa;
d.     sehat jasmani dan rohani;
e.     tidak berada di bawah pengampuan;
f.     bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.     badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
    ”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
    ”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
    ”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a.     meninggal dunia;
b.     atas permohonan sendiri;
c.     tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d.     melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatansetempat.

BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan

Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.     tanda bukti pemilikan harta benda;
b.     jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c.     surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf

Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.




BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf

Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a.     karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.     karena kepentingan umum.

Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf

Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pengawasan

Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.






Ketentuan Penutup

Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

PENJELASAN
ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM


PENJELASAN UMUM

1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaranhukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama.

Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas
Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas
Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas
Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.
Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas
Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas
Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III

Siaran langsung TVONE